Peran Perempuan Dalam Masyarakat

Peran Perempuan Dalam Masyarakat – SIAPAKAH makhluk paling perkasa dalam sejarah kehidupan manusia? Jawaban paling beradab, historis agamis, eksistensialis serta jauh dari chauvinisme laki-laki, akan memilih sosok makhluk bernama perempuan.


Anda boleh tidak setuju, tetapi diakui atau tidak, kehidupan dan kemajuan ini sebenarnya digerakkan oleh kaum perempuan. Bahkan secara ekstrem saya berani berkata, bahwa kehidupan adalah perempuan itu sendiri.


Lihatlah, mengapa manusia harus meninggalkan surga untuk memulai hidup menikmati dunia, itu karena ulah seorang perempuan bernama Hawa atawa Eva. Dialah yang mengambil inisiatif memakan buah kuldi yang terlarang.


Peran-Perempuan-Dalam-Masyarakat

Mungkin mulanya itu sebuah pelaksanaan takdir kehadiran kehidupan di dunia. Boleh jadi, jika Hawa tak melanggar larangan, dunia yang subur makmur penuh kemungkinan ini kosong tanpa penghuni. Bukankah artinya dunia seisinya menjadi mubadzir?


Tarih Islam juga bercerita pajang bagaimana peran besar yang diemban oleh Siti Khatijah. Ia mendampingi Rasulullah mendapat pujian, ia tenangkan pikirannya, ia belai, ia tunjukkan akan perlunya optimisme setiap menghadapi tantangan.


Rasulullah mongkog, ia kembali bangkit bahkan akhirnya menjadi tahu dirinya tak perlu takut, karena suara “Iqra” berulang-ulang adalah wahyu dari Tuhan lewat sang malikat. Orang tahu, bersama Khatijah, Rasulullah kemudian menjadi manusia besar untuk membangun peradaban manusia.


Sejarah kebudayaan juga mencatat, bahwa penemu berbagai macam tanaman dan kegunaannya, pencipta alat-alat pertanian dan rumah tangga bukan, mukhluk yang sok jago, yang menganggapperempuan hanyalah sempalan tulang iganya, yang bernama laki-laki itu semua ditemuciptakan oleh perempuan.


Di kala kaum lelaki pada masa berburu dan bertempat tinggal nomaden, kaum ibu-perempuan, berada di rumah menyiapkan masakan menyongsong para jagoan pulang dari berburu. Mereka melakukan kreasi-kreasi eksperimen pencicipan atas berbagai macam tanaman.


Mereka coba cabe, coba daun, coba garam, coba buah, yang tentu kadang berhasil tetapi saya kira tak jarang juga harus menanggung korban eksperimen karena rasa pahit, kecut, bacin atau malahan beracun.


Mereka juga coba-coba bertanam, lalu menciptakan alat-alat pertanian dan alat dapur sederhana. Maka ketika kaum lelaki yang dengan egoismenya menganggap wanita makhluk nomer dua dan boleh diperlakukan apa saja masih hanya bisa membuat panah dan tombak dengan profesi tunggal berburu (memanah dan menombak), kaum perempuan telah melakukan rovolusi sebagai “homofaber”.

Maka siapa yang menolak bahwa perempuan makhluk perkasa? Bung Karno berkali-kali mengalami kekecewaan hidup di tengah romantika perjuangan kemerdekaan.


Kehadiran Inggit Ganarsih menjadi penghangat perjuangannya. Dialah yang selalu memberikan semangat, memberi motivasi bahkan memodali Soekarno yang bangkrut secara ekonomis karena pilihannya.


Ia bahkan mengikuti pembuangan suaminya ke Endeh dan Bengkulu. Tetapi apa yang ia dapat dari kesetiannya itu? Bung Karno jadi Presiden, tetapi perempuan Inggit Ganarsih justeru meninggalkan gerbang istana, rela hidup sendiri, karena wanita lain telah mendampingi lelaki yang selama ini setiani.


Saya juga baru saja menamatkan untuk kedua kalinya, buku berjudul “Bangkit Dari Sakit”. Dalam buku ini saya melihat betapa perkasanya perempuan cantik bernama Herlina Kasim. la pernah perkasa dengan julukan “Pending Emas” karena jasanya ikut merebut Irian Barat tahun 1961, tetapi sebenarnya ia lebih perkasa lagi menjalani kehidupan sesudah itu.


la sakit bahkan dokter sudah meramalkan kematiannya. Tetapi ia tak menangis, ia tak putus asa. Sisa hidupnya ia berikan untuk kemanusiaan, untuk menolong mereka yang benar-benar papa, ia rawat semua anak-anak terlantar yang datang kepadanya dari yang kliptomania sampai yang bajingan dari yang hipersex sampai yang morfinis, dari yang gendheng sampai yatim piatu.


Saya kira semua laki-laki akan menangis juga membaca kisah keperkasaan wanita ini, ketika Tuhan menutup penderitaannya dengan happy ending, karena justeru dengan seluruh pengorbanan itulah akhirnya berhasil melewati maut Masih panjang deretan cerita wanita perkasa, termasuk Ibu Kartini, Rohana Kudus, Dewi Sartika, Ibu Theresa, Indira  Gandhi, Aung San Suu Kyi, atau Cory Aquino. Dan tentu saja, perempuan perkasa itu ibu kita, yang telah dengan cuma-cuma sudi mengandung janin 9 bulan, menyusui, menceboki, dan merawat hingga menjadi orang”.


Begitu dekatnya hati kita dengan ibu, sampai-sampai dalam tekanan rasa sakit orang Jawa tidak menyebut kalimat lain kecuali, “iyung” yang tak lain singkatan dari “biyung” atau ibu.

 Itulah maka semua orang seperti sepakat kisah Malinkundang menjadi simbol manusia durhaka pada ibu.


Nabi Muhammad sendiri menyampaikan doktrin yang jelas bahwa sorga ada di telapak kaki ibu. Dan tatkala seorang sahabatnya bertanya kepada siapakah kita berbakti terlebih dahulu setelah kepada Allah, Rassul menjawab, “pertama ibu, kedua ibu, ketiga ibu… Begitu utamanya ia dalam pembentukan peradaban, sehingga makhluk ini lebih tepat disebut perempuan, bukan wanita atau puteri.

Perempuan, berasal dari kata empu, mendapat awalan per dan akhiran an Empu adalah seorang ahli, pakar, atau pujangga dalam bentuk yang lain. Dari empulah lahir karya-karya adiluhung, mashur dan spektakuler. Dari perempuan pulalah, lahir manusia-manusia, yang di antaranya menjadi orang hebat, tinggi derajat dan martabat.


Tanpa perempuan, tak akan lahir para Nabi, para raja, BJ Habibie, Sarwono Koesoemaatmadja, atau orang besar siapa saja.

Celakanya sejarah sedikit sekali mengisahkan perempuan-perempuan yang melahirkan orang-orang besar. Celakanya lagi, karena merasa hanya sempalan tulang iga, kaum laki-laki masa kini sekehendak sendiri mengutak-atik arti kata perempuan. Ia bukan diartikan perempuan, tetapi menjadi per-empuk-an. Maksudnya makhluk yang sekedar dinikmati keempukannya.


Di mana-mana ketika lelaki memuja perempuan, bukan soal kecerdikan, kepandaian, ketangkasan dan keperkasaannya, tetapi sebatas soal kelembutan kulit, kekenesan wajah, kemonontokan dada, dan kemenonjolan-kemenonjolan lain yang berkonotasi birahi-fisik.


Tak ayal, lantaran makhluk yang menjadi kunci kehidupan ini semata-mata obyek buat mendapatkan keempukan. Anggapan itulah yang menjadi cikal bakal seks bebas, prosti-tusi, perzinahan, perkosaan, dan persundalan lainnya. Itu semua ciptakan laki-laki dalam rangka melampiaskan egonya, karena dengan mengekploitasi mereka, berarti laki-lakilah yang perkasa. Dan lebih celaka lagi, perempuan boleh mendapat julukan WTS, sedangkan laki-laki tak layak dijuluki LTS. Laki-laki boleh mempersoalkan keperawanan, kaum perempuan tak boleh mempersoalkan keperjakaan. Laki-laki boleh pergi ke tempat permesuman dan pulang berlagak menjadi ayah yang baik dan alim, perempuan harus berdiam di rumah, dengan doktrin konyol di ruang tamu bagai ratu, di dapur bagai batur, dan di tempat tidur bagai pel.....


Inilah elegi kaum ibu-ibu perempuan hari ini, di abad yang begitu banyak orang gemar bicara soal hak asasi manusia, tetapi di dalamnya tak termuat hak asasi kaum ibu perempuan.

Perendahan derajat, ketiadaan persamaan hak pria-wanita ternyata berlangsung sejak dini, karena terkondisi oleh ucapan sikap dan perilaku orang dewasa. Maka jangan heran ketika kita bertanya kepada anak-anak siapakah makhluk perkasa itu?


“Kura-kura Ninja” teriak Ari bangga. “Batman” jawab Rudy.

“Superman” seru Dody kegirangan.

“Gobot” sahut Eko.

“Gatutkaca” sela Teguh.

“Unyil” sergah Bambang.

“Bukan, si Komo” tangkis Budi dengan ekspresi tanpa dosa.


Bukan salah anak-anak kita, karena walaupun fakta yang perkasa kaum perempuan namun bukankah seluruh cerita khayal, tokoh perkasa berjenis kelamin pria?

Mohon ampun Bunda, karena kaumku memang tak tahu jasa. Hanya satu yang bisa saya haturkan.

Mengucapkan Selamat Hari Ibu.*

(Wawasan, 20 Desember 1991)

  • PENULIS Hadi Supeno, Lahir di Banjarnegara 14 april 1958
  • Melawan Kebudayaan Bisu
  • Diterbitkan Pustaka Paramedia, Mei 1999
seorang buruh yang kini kepincut dengan dunia blogging