Langkah Pertama yang Tertunda, Bukan Hari Ini Kata Razan
Hari ini, Senin, 14 Juli 2025. Seharusnya Razan sudah mulai masuk sekolah. Ya, seharusnya begitu. Tapi kenyataannya, pagi ini ia batal menginjakkan kaki kecilnya di sekolah dasar—sekolah negeri yang hanya berjarak sekitar 10–15 menit berjalan kaki dari rumah neneknya di kampung.
Alasannya terdengar sederhana, tapi cukup membuat saya terdiam lama: ia tidak mau.
Katanya, dia ingin masuk sekolah sepuluh hari lagi. Bukan sekarang. Bukan hari ini.
Kepala saya langsung terasa berat. Ada perasaan campur aduk—bingung, khawatir, dan jujur saja, sedikit kecewa.
Padahal sejak pagi buta, ia sudah bangun dengan semangat. Sudah saya pakaikan seragam barunya—seragam yang sudah saya siapkan sejak dua minggu lalu, jauh sebelum hari pertama sekolah tiba. Saya ingat betul, ia memilih sendiri tas kecil berwarna biru muda bermotif Game Roblox, dan sepatu hitam motif Roblox yang langsung ia suka saat membelinya.
Pagi itu, semuanya tampak siap. Ia terlihat begitu manis dan rapi dengan seragam barunya. Saya bahkan sempat memotret diam-diam dari balik pintu.
Namun semua harapan itu buyar seketika oleh tangisannya. Rengekan kecil yang berubah jadi isak panjang. Saya mencoba membujuknya dengan lembut, “Kita ke sana dulu, ya. Lihat-lihat saja. Kalau Razan tidak suka, boleh pulang. Tapi kalau Razan suka, boleh tinggal.”
Tapi tidak. Ia tetap bergeming. Kukuh. Tidak mau pergi. Tidak hari ini.
Dan ketika saya tanya kenapa, satu-satunya alasan yang keluar hanya dua kata:
“Tak suka.”
Saya dorong sedikit rasa ingin tahu. “Tak suka kenapa?”
Jawabnya pelan, hampir tak terdengar, “Tak suka diejek.”
Saya terdiam lebih lama. Ironis sekali. Ia belum pernah sekalipun masuk ke sekolah itu. Belum kenal siapa pun di sana. Belum tahu siapa teman-teman barunya, atau seperti apa ruang kelas pertamanya. Tapi rupanya, di kepalanya sudah tersimpan sebuah bayangan—tentang rasa takut. Tentang kemungkinan ia akan ditertawakan. Entah dari mana datangnya ketakutan itu. Tapi pagi ini, ketakutan itu lebih kuat dari keberaniannya.
Dan saya pun hanya bisa duduk di sisinya, menenangkannya, sambil berharap... mungkin besok, atau lusa, keberaniannya akan tumbuh—sedikit demi sedikit. Semoga.