Jawablah Tes Wawancara Apa Adanya

Berbohong saat tes wawancara bukan hanya tak berguna Jawablah Tes Wawancara Apa AdanyaBerbohong ketika tes wawancara bukan cuma tak berkhasiat, tetapi juga bisa menciptakan Anda tidak diterima. Lebih bijaksana jikalau pertanyaan dijawab apa adanya, impulsif, pribadi ke pokok persoalan, tidak mengada-ada, tidak menggurui, dan sopan.


“Padahal tinggal wawancara lo, kok gagal. Dulu juga begitu, selalu kandas di tahap ini”. Keluhan macam itu banyak kita dengar dari mereka yang tak lolos dalam wawancara psikologi untuk melamar kerja. Sebuah realita yang menyesakkan, terlebih kebanyakan tahapan wawancara berada diakhir proses seleksi. Lolos di sini bermakna si kandidat diterima di kawasan kerja yang gres.

Wawancara psikologi punya banyak makna. Ada beberapa versi, salah satunya, menurut Bingham dan Moore, wawancara ialah “… conversation directed to define purpose other than satisfaction in the conversation itself”. Sedangkan berdasarkan Weiner, “The term interview has a history of usage going back for centuries. It was used normally to designate a face to face meeting of individual for a formal conference on some point.”

Dari kedua definisi itu didapatkan keadaan bahwa wawancara yaitu pertemuan tatap paras , dengan memakai cara verbal, dan mempunyai tujuan tertentu.

Jangan dibayangkan wawancara itu sama dengan interogasi alasannya adalah tujuan khususnya memang “berlainan”, walaupun sedikit serupa dalam hal menggali dan mencocokkan data. Yang pasti, cara yang dipergunakan dalam kedua hal itu berbeda.

Interogasi lebih menekankan pada tercapainya tujuan, dengan berbagai cara dan balasan, baik secara halus maupun bergairah. Posisi interogator lebih tinggi dan bebas dibandingkan dengan yang diinterogasi, serta lebih langsung.

Bandingkan dengan wawancara psikologi, di mana kedudukan antara pewawancara dan yang diwawancarai relatif setara. Kondisinya pun berbeda, sebab tidak ada pementingan serta tidak menggunakan kekuasaan. Bahkan dalam keadaan ekstrem, seorang kandidat karyawan yang diwawancarai mampu saja tidak menjawab, pewawancara pun tidak akan memaksa. Namun, hal itu pasti akan sangat mensugesti evaluasi dalam pengambilan keputusan seorang psikolog.

Cocok berbobot
Wawancara dalam tes psikologi (psikotes) bantu-membantu satu paket dengan tes tertulisnya. Tes ini bermaksud mencari orang yang sesuai dan pas, baik dari tingkat kecerdasan, serta sifat dan kepribadian. Istilah kerennya menerima “the right man in the right place”.

Dasar aliran lain kenapa perlu diadakan seleksi, ialah adanya perbedaan kesempatanyang dimiliki setiap individu. Perbedaan itu akan menentukan pula perbedaan dalam teladan pikir, tingkah laku, minat, serta pandangannya kepada sesuatu. Kondisi itu juga akan besar lengan berkuasa terhadap hasil kerja. Bisa jadi sebuah pekerjaan atau jabatan akan lebih sukses jikalau dilakukan oleh individu yang mempunyai bakat serta kemampuan seperti yang dituntut oleh persyaratan dari suatu pekerjaan atau jabatan itu sendiri.

Ada beberapa tujuan spesifik dari wawancara psikologi. Pertama, observasi. Dalam hal ini kandidat kar-yawan dilihat dan dinilai. Mulai dari performa, sikap, cara menjawab pertanyaan, postur – khususnya untuk pekerjaan yang memang membutuhkannya, mirip serdadu, polisi, satpam, dan pramugari. Penilaian juga menyangkut bobot tanggapan dan kelancaran dalam menjawab.

Demikian pula perilaku dan sikap-sikap yang mau timbul secara impulsif jika berada dalam suasana yang gres dan mungkin menegangkan. Misalnya, mata berkedip-kedip atau memutar jari-jemari yang dijalankan tanpa sadar.

Dalam hal bobot balasan, contohnya, si calon bisa dinilai apakah dia memberikan jawaban yang dangkal atau tidak, atau malah berbelit-belit. Jawaban berupa “Ingin naik pesawat” atau “Ingin ke luar negeri” merupakan teladan balasan yang dinilai dangkal atas pertanyaan argumentasi menjadi pramugari.

Sedangkan kelangsungan dalam menjawab lazimnya dinilai dari berapa lama waktu yang diharapkan oleh seorang kandidat karyawan untuk menjawab pertanyaan.

Dalam wawancara psikologi yang diharapkan sebenarnya balasan spontan dan tidak mengada-ada. Misalnya, jika ditanya alamat, sebut saja alamat kita. Tidak usah ditambah-tambahi atau malah berlagak sok akil.

Tujuan selanjutnya dalam tes wawancara yaitu menggali data yang tidak didapatkan dari tes tertulis. Misalnya, apakah istri melakukan pekerjaan , anak bersekolah di mana, masih tinggal bareng orangtua atau tidak, serta apa judul skripsi dan berapa nilai yang didapat.

Yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi penilaian yaitu kecocokan data. Benarkah data yang ditulis oleh sang calon?

Atas dasar itu seorang psikolog sering melontarkan pertanyaan untuk menganggap tingkat pemahaman dan intelegensi si calon. Misalnya, calon mengaku berpendidikan S2, maka diajukan pertanyaan yang cocok dengan tingkat pendidikan itu. Bila jawabannya kurang bermutu, dapat saja diambil kesimpulan bahwa calon memiliki intelegensi yang kurang atau dianggap tidak serius selama menjalani proses pendidikan.

Sering juga terjadi hasil tes tulis anggun, tetapi hasil wawancaranya kurang meyakinkan. Hal ini mampu terjadi sebab mungkin beliau sudah berulang kali mengikuti psikotes atau pernah mengikuti panduan psikotes. Tes ulang dapat menjadi alat untuk menangani keraguan itu.

Dalam konteks di atas, tidaklah mungkin seorang calon membohongi psikolog. Riskan pula kalau ia tidak menjawab dengan bahu-membahu. Terbuka sudah kepribadiannya yang tidak jujur, padahal kejujuran ialah prasyarat penting untuk perusahaan.

Pada wawancara untuk evaluasi karyawan atau promosi jabatan lazimnya data curiculum vitae (CV) dari instansi atau perusahaan telah diberikan semua dari Bagian Personalia.

Manfaat lain wawancara ialah melengkapi data yang terlalaikan atau tidak tertulis secara lengkap. Misalnya, telah pernah mengalami psikotes atau belum. Kalau telah, berapa kali? Untuk apa? Lulus atau tidak? Mungkin juga minat ataupun honor yang dikehendaki. Yang terakhir, manfaat wawancara yaitu untuk menciptakan keputusan.

Dari hasil investigasi psikologi tertulis dan wawancara, dibuatlah kesimpulan, apakah calon ini memenuhi syarat seperti job description yang diberikan oleh perusahaan atau tidak.

Terkadang ada psikotes yang tidak memakai wawancara. Semua itu tergantung tujuan investigasi, ketersediaan data yang mungkin sudah lengkap, serta tidak begitu mensyaratkan performa atau postur. Misalnya, jikalau yang diharapkan operator komputer, yang penting dia mampu komputer dan inteligensinya cukup.

Mengapa gagal?
Banyak kandidat karyawan gagal dalam psikotes, termasuk di dalamnya wawancara. Mengapa?
Sesungguhnya, hasil investigasi psikologi bersifat rahasia, dalam arti tidak setiap orang mampu menerjemahkan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, yang berhak adalah psikolog yang berkompeten.

Hal itu berlainan dengan tes kesehatan, di mana jenis kegagalan dapat disebutkan dengan terang dan biasanya dapat pula dilihat. Sementara hasil psikotes masih ialah data bergairah berupa angka-angka sehingga perlu diterangkan dalam bahasa awam oleh psikolog, untuk dijadikan data kualitatif.

Pada dasarnya psikotes bukan cobaan. Psikotes tidak mengukur prestasi melainkan kesempatandasar setiap individu. Dalam tes prestasi ada bahan yang dapat dipelajari, misalnya bahasa Inggris. Bila seseorang mendapat nilai B dalam pelajaran itu, memiliki arti penguasaan materi Bahasa Inggrisnya baik.

Sedangkan psikotes mengukur potensi dasar yang dimiliki tiap individu. Seseorang yang memang intinya pintar, dites mirip apa pun tetap akan baik karenanya. Asalkan ia serius pada dikala melakukan dan tidak terganggu konsentrasinya sehingga mampu melakukan pekerjaan secara maksimal.

Untuk menghemat risiko gagal, ada beberapa hal yang perlu disediakan. Yang pertama, penampilan fisik. Perhatikan dengan saksama terlebih kalau profesi yang hendak dimasuki mensyaratkan tampilan mempesona – seperti pramugari, teller bank, atau sekretaris. Sedangkan prajurit/polisi lebih menitik-beratkan pada postur ideal antara tinggi dan bobot badan, serta ada kriteria sekurang-kurangnyatinggi badan.

Perhatikan juga cara berpakaian, semestinya sesuaikan dengan situasi dan situasi. Misalnya, dalam wawancara untuk calon pramugari sebaiknya tidak mengenakan busana yang tidak sepantasnya, seperti celana panjang berbahan jins. Atau memakai sepatu sandal, walaupun sedang mode.

Kerapian dan kesopanan berpakaian juga diperhitungkan. Misalnya, tidak mengenakan kemeja yang lengan panjangnya dilipat, atau hanya mengenakan kaus, atau kemeja tidak dimasukkan.

Sikap pun memperlihatkan nilai penting. Yang dimaksud dengan perilaku yaitu bagaimana si calon karyawan mampu menempatkan diri pada posisi yang sempurna. Sebaiknya bersikap masuk akal saja, tidak dibuat-buat, tetapi juga tidak tegang atau gugup.

Selain itu, umumnya dinilai pula kesopanan yang tepat dengan norma. Misalnya, tidak tampak menjilat, mengetuk pintu jika akan masuk ruangan, atau bila belum dipersilakan duduk, ya, jangan duduk dulu. Dalam menjawab pertanyaan tidak bertele-tele, pribadi pada inti problem. Kemudian menjawab secara jujur, tidak butuhditutup-tutupi. Misalnya, pernah tidak naik kelas atau pernah gagal pada tes di perusahaan lain.

Selain itu, dalam menjawab tidak usah menggurui, meskipun si calon sudah memiliki pendidikan yang cukup tinggi, pengalaman lumayan banyak, atau dari sisi usia lebih bau tanah dibandingkan dengan si pewawancara.

Jangan pula menjawab dengan arogan, misalnya mengaku selaku atlet yang sudah keliling ke banyak negara dan memiliki segudang prestasi. Bangga boleh-boleh saja, tetapi bila hasil psikologi tertulisnya kurang baik, tetap saja tidak lulus.

Yang tidak kalah penting, tidak usah bertanya. Meski merasa optimistis dengan hasil tes tulis dan merasa bisa melakukan, calon tidak perlu bertanya mengenai jadinya. Pada dasarnya wawancara yakni tes juga sehingga hal ini akan menghipnotis evaluasi. Selain itu, situasi yang dihadapi saat itu yakni suasana tes, bukan konsultasi psikologi. Pertimbangkan pula banyak kandidat lain yang menanti.

Umumnya, untuk menemukan isu penting dari kandidat karyawan digunakan sistem FACT, adalah:

F: Feeling, tentang apa yang dinikmati oleh orang itu. Ditanyakan minatnya, citra pekerjaan, apakah juga sudah terbayang.

A: Action, perihal tindakan-langkah-langkah apa yang sudah dikerjakan.

C: Condition, keadaan/situasi/keadaan di mana kejadian itu berlangsung.

T: Thinking, tentang apa yang dipikirkan atau yang diharapkan oleh orang pada dikala itu.

Pemahaman yang lebih baik perihal wawancara psikologi akan membuat kita lebih mudah merencanakan diri menghadapi jenis wawancara ini. Yang pasti, wawancara psikologi tidak butuhditakuti dan tidak bisa dibohongi. (GCM/is)

seorang buruh yang kini kepincut dengan dunia blogging